Dalam dunia keuangan, hukum, maupun bisnis, laporan penilaian dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) selalu menempati posisi yang sangat penting. Laporan ini hadir sebagai dokumen resmi yang memberikan gambaran objektif mengenai nilai suatu aset, baik berupa properti, tanah, bangunan komersial, maupun aset bisnis lainnya. Tanpa adanya laporan appraisal, proses transaksi yang melibatkan jumlah dana besar akan sulit memperoleh dasar yang kuat, karena tidak ada acuan profesional yang dapat dipertanggungjawabkan.
Tidak hanya itu, laporan penilaian KJPP juga berfungsi sebagai rujukan nilai aset yang dipakai dalam berbagai kegiatan, mulai dari pengajuan kredit perbankan, penawaran investasi, merger dan akuisisi, hingga penyelesaian sengketa hukum.
Bank, perusahaan swasta, investor, bahkan regulator pemerintah kerap menjadikan dokumen ini sebagai pegangan utama untuk menghindari risiko salah perhitungan. Dengan kata lain, keberadaan laporan appraisal membuat keputusan bisnis dan hukum menjadi lebih transparan serta memiliki legitimasi yang jelas.
Selain sebagai dokumen internal, laporan penilaian juga sering diminta oleh lembaga eksternal. Misalnya, otoritas pajak memerlukan appraisal untuk memastikan nilai objek pajak sesuai dengan pasar, atau pengadilan membutuhkan laporan tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam kasus sengketa aset. Dari sini terlihat jelas bahwa laporan KJPP tidak sekadar catatan administratif, melainkan alat strategis yang dapat memengaruhi jalannya suatu transaksi atau putusan hukum.
Banyak orang masih bingung tentang berapa lama laporan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) tetap berlaku. Pertanyaan ini wajar, mengingat nilai aset properti dan bisnis selalu berubah mengikuti kondisi pasar. Karenanya, penting untuk memahami masa berlaku laporan penilaian agar dokumen yang Anda gunakan sah secara hukum dan relevan secara ekonomi.
Apa Itu Laporan KJPP?
Melansir laman resmi Kementerian Keuangan, laporan KJPP adalah dokumen resmi berisi opini tertulis dari seorang penilai independen mengenai nilai ekonomis suatu aset.
Penilai yang menyusunnya wajib mematuhi standar profesional serta regulasi yang berlaku, baik dari OJK maupun Standar Penilaian Indonesia (SPI).
OJK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 membentuk OJK sebagai lembaga negara independen yang mulai beroperasi penuh pada tahun 2013. OJK mengambil alih fungsi pengawasan yang sebelumnya dipegang oleh Bank Indonesia dan Bapepam-LK, sehingga mengintegrasikan pengaturan di sektor keuangan.
Lembaga ini menggantikan peran pengawasan yang sebelumnya dipegang oleh Bank Indonesia dan Bapepam-LK, sehingga pengaturan di sektor keuangan menjadi lebih terintegrasi.
Sementara SPI merupakan standar profesional yang wajib diikuti oleh seluruh penilai properti di Indonesia. Standar ini menjadi pedoman utama untuk memastikan kualitas dan konsistensi dalam praktik penilaian.
Dasar hukum SPI mencakup beberapa regulasi, yaitu:
Pasal 1 ayat 4 dan Pasal 4 ayat 2 PMK No. 101/PMK.01/2014 menekankan bahwa penilaian harus disesuaikan dengan SPI.
PMK No. 228/2019 menegaskan bahwa Penilai Publik harus selalu berpegang pada SPI dan Kode Etik Penilai Indonesia (KEPI).
Secara garis besar, aset yang biasanya dinilai meliputi:
- Properti: tanah, bangunan, gudang, apartemen, hingga perkebunan.
- Bisnis: nilai perusahaan, merek dagang, hingga kekayaan intelektual seperti paten.
- Aset lainnya: mesin produksi, kendaraan, peralatan berat, kapal, maupun pesawat.
Aturan Masa Berlaku Laporan KJPP

Menurut ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), laporan penilaian KJPP hanya berlaku enam bulan sejak tanggal penilaian (Cut Off Date). Setelah melewati jangka waktu tersebut, laporan dianggap tidak lagi mencerminkan kondisi pasar terkini sehingga perlu diperbarui. Jangka waktu ini ditetapkan agar nilai yang tercantum tetap relevan dengan kondisi pasar.
Di pasar modal, aturan berlaku melalui POJK No. 35/POJK.04/2020 tentang Penilaian Aset dalam Rangka Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas. Regulasi ini mengharuskan laporan penilaian yang digunakan untuk IPO maupun rights issue memiliki masa berlaku tertentu, dengan prinsip umum enam bulan.
Di sektor perbankan, meskipun tidak selalu tercantum eksplisit, praktik industri juga menggunakan standar enam bulan. Bank biasanya hanya menerima laporan penilaian yang masih “segar” agar nilai agunan tetap valid sebagai dasar kredit.
OJK menetapkan batasan waktu enam bulan dengan sejumlah pertimbangan, yaitu:
- Fluktuasi Nilai Aset: Harga properti, bisnis, maupun aset lainnya bisa berubah cepat akibat kondisi ekonomi, inflasi, atau perkembangan infrastruktur.
2. Perlindungan Investor dan Kreditur: Laporan yang kedaluwarsa berpotensi menyesatkan. Dengan adanya batasan waktu, lembaga keuangan maupun investor mendapatkan informasi yang lebih akurat.
3. Kesesuaian dengan Standar Global: Standar Penilaian Indonesia (SPI) serta standar internasional merekomendasikan adanya pembatasan waktu agar laporan tetap mencerminkan kondisi pasar.
Selain POJK, dasar lain yang mengatur masa berlaku laporan adalah Standar Penilaian Indonesia (SPI) yang diterbitkan oleh MAPPI.
Dalam SPI 101 tentang Penilaian Properti, ditegaskan bahwa penggunaan laporan penilaian harus mempertimbangkan tanggal efektif dan periode berlakunya. Secara umum, enam bulan dianggap sebagai batas waktu wajar agar laporan tidak menyesatkan pihak yang menggunakannya.***