Dalam dunia penilaian properti, salah satu istilah yang sering muncul adalah tingkat diskonto atau discount rate. Konsep ini berperan besar dalam menentukan nilai wajar suatu aset, khususnya properti yang menghasilkan arus kas seperti gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, atau perkebunan produktif. Tanpa memahami cara kerja tingkat diskonto, hasil penilaian bisa menyesatkan terlalu tinggi atau terlalu rendah dari nilai sebenarnya.
Apa Itu Tingkat Diskonto?
Mengutip dari laman ojk.go.id, tingkat diskonto adalah tingkat pengembalian yang digunakan untuk mengonversi proyeksi arus kas masa depan menjadi nilai sekarang. Dalam konteks properti, arus kas tersebut bisa berupa pendapatan sewa, biaya operasional, maupun nilai sisa (terminal value) di akhir periode proyeksi.
Mengapa penting? Konsep ini muncul dari prinsip bahwa nilai uang sekarang selalu lebih berharga dibandingkan nilai uang di masa depan. Faktor inflasi, risiko investasi, peluang alternatif, serta ketidakpastian pasar membuat Rp1 miliar hari ini tidak sama nilainya dengan Rp1 miliar lima tahun mendatang.
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam SEOJK No. 33/2021, tingkat diskonto harus mencerminkan nilai waktu dari uang sekaligus risiko operasional dan pasar yang melekat pada properti (OJK Portal). Panduan Praktek Penilaian Indonesia (PPPI) pun menekankan bahwa tingkat diskonto mencerminkan opportunity cost atau biaya peluang dari modal.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Diskonto
Menentukan diskonto bukan sekadar memilih angka secara acak. Merangkum dari laman ojk.go.id, Jurnal ITS, dan Kemenkeu.go.id ada berbagai variabel yang harus diperhatikan, di antaranya:
- Tingkat Bebas Risiko (Risk-Free Rate)
Biasanya menggunakan imbal hasil obligasi pemerintah. Angka tersebut berfungsi sebagai acuan utama yang dipilih penilai karena menawarkan tingkat keamanan tertinggi. Semakin tinggi risiko negara, semakin tinggi pula risk-free rate yang berlaku.
- Risiko Khusus Properti
Meliputi kondisi fisik bangunan, umur aset, kualitas penyewa, lokasi, serta potensi kekosongan. Penilai menyimpulkan bahwa properti di pusat kota dengan penyewa korporasi stabil memiliki risiko lebih rendah dibanding ruko di kawasan pinggiran.
- Risiko Pasar dan Ekonomi Makro
Inflasi, suku bunga acuan, kondisi ekonomi regional, hingga regulasi pemerintah bisa meningkatkan risiko investasi. Misalnya, jika inflasi tinggi, maka arus kas masa depan akan tergerus nilainya.
- Struktur Modal dan Biaya Pendanaan
Penilai menambahkan biaya bunga ke dalam perhitungan tingkat diskonto ketika properti dibiayai melalui utang. Investor biasanya menghitung WACC (Weighted Average Cost of Capital) yang menggabungkan biaya utang dan ekuitas.
- Umur Properti dan Periode Proyeksi
Semakin panjang periode proyeksi, semakin besar pula ketidakpastian. Penilai biasanya menetapkan tingkat diskonto lebih tinggi pada properti tua atau proyeksi yang melebihi 10 tahun.
- Nilai Terminal
Terminal value berperan besar dalam perhitungan DCF. Kesalahan asumsi pada nilai sisa bisa membuat hasil akhir jauh meleset.
- Likuiditas dan Risiko Lokal
Penilai juga mempertimbangkan kecepatan properti dapat dijual kembali, kualitas infrastruktur di sekitarnya, serta stabilitas perizinan di daerah setempat.
Contoh Perhitungan Diskonto
Untuk mempermudah pemahaman, penilai menyajikan dua contoh penerapan diskonto dalam penilaian properti:
Contoh 1: Properti Komersial Sewa
- Pendapatan bersih tahun pertama (NOI): Rp200 juta
- Pertumbuhan NOI: 5% per tahun
- Periode proyeksi: 5 tahun
- Penilai menghitung nilai terminal dengan menggunakan tingkat kapitalisasi sebesar 8%.
- Tingkat diskonto: 12%
Hasil perhitungan menunjukkan nilai sekarang (Present Value) properti sekitar Rp2,63 miliar. Ketika penilai menaikkan tingkat diskonto menjadi 15%, nilai properti langsung turun secara signifikan.
Contoh 2: Perkebunan Kelapa Sawit (PT Mitra Mendawai Sejati – Repository UGM)
- Metode: DCF dengan WACC sebesar 14,63%
- Hasil: Nilai pasar mencapai Rp810 miliar atau Rp96,7 juta per hektar
- Catatan: Diskonto relatif tinggi karena risiko sektor perkebunan, namun proyeksi harga dan produksi stabil mendukung valuasi yang signifikan.
Kedua contoh ini membuktikan bahwa angka diskonto sangat menentukan estimasi nilai properti.
Pedoman dalam Menetapkan Tingkat Diskonto
Untuk menghasilkan penilaian yang kredibel, ada beberapa praktik terbaik yang direkomendasikan:
- Gunakan data pasar terbaru. Ambil acuan dari yield obligasi, data sewa properti sejenis, dan tingkat kekosongan lokal. (OJK Portal)
- Sesuaikan dengan risiko objek. Tambahkan premi risiko jika properti memiliki kelemahan tertentu, misalnya penyewa tidak stabil.
- Pisahkan biaya modal. Penilai menggunakan pendekatan Weighted Average Cost of Capital (WACC) ketika properti dibiayai dengan kombinasi utang dan ekuitas. (Neliti)
- Proyeksi realistis. Umumnya periode 5–10 tahun cukup praktis untuk properti sewa.
- Hati-hati dengan nilai terminal. Terminal value bisa mendominasi lebih dari separuh hasil perhitungan.
- Ungkapkan asumsi secara transparan. Penilai wajib menjelaskan mulai dari proyeksi pertumbuhan sewa hingga tingkat kekosongan dalam laporan penilaian. (SEOJK No. 33/2021)
- Lakukan analisis sensitivitas. Uji bagaimana perubahan kecil pada diskonto atau biaya memengaruhi hasil valuasi.
- Ikuti standar nasional. Gunakan SPI, PPPI, dan regulasi OJK sebagai acuan resmi.
Penilai menjadikan tingkat diskonto sebagai elemen utama dalam penerapan metode Discounted Cash Flow pada penilaian properti. Angka ini berfungsi untuk menilai arus kas masa depan dengan mempertimbangkan risiko, inflasi, dan biaya peluang modal.
Penetapan diskonto yang tepat dapat menghasilkan nilai properti yang realistis. Sebaliknya, jika diskonto terlalu rendah, hasil valuasi bisa terlalu optimis; jika terlalu tinggi, nilai properti akan terkesan merugikan.
Contoh Studi Kasus

Penilaian Properti Agribisnis dengan Metode DCF: Studi Kasus PT Mitra Mendawai Sejati
Properti agrikultur, khususnya perkebunan kelapa sawit, memiliki karakteristik tersendiri dalam hal penilaian nilai pasar. Penilai sering menggunakan metode Discounted Cash Flow (DCF) atau arus kas terdiskonto untuk menghitung nilai properti. Metode ini sangat cocok untuk properti yang menghasilkan secara terus-menerus (tanaman yang sudah menghasilkan, “tanaman menghasilkan” atau TM). Studi kasus ini mengulas penelitian yang menilai nilai pasar properti agrikultur milik PT Mitra Mendawai Sejati (MMS), perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Penelitian ini ditulis oleh M. Firdaus Asriadin dibimbing oleh Drs. Ahmad Jamli, M.A. pada tahun 2015 dalam program Magister Ekonomika Pembangunan di Universitas Gadjah Mada.
Tujuan dan Ruang Lingkup Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memperoleh indikasi nilai pasar properti perkebunan kelapa sawit PT MMS dengan menerapkan pendekatan pendapatan melalui metode DCF.
Data produksi tanaman kelapa sawit dari tahun 2010 sampai 2013.
Harga tandan buah segar (TBS) bulanan dari Januari 2007 sampai Desember 2013.
Metode Penelitian
Peneliti menilai properti menggunakan metode Discounted Cash Flow (DCF) yang mencakup aspek-aspek utama berikut:
- Proyeksi Produksi
Peneliti menganalisis produktivitas aktual tanaman lalu membandingkannya dengan standar produktivitas yang berlaku pada kelas kesesuaian lahan S3. Hasilnya menunjukkan bahwa produktivitas tanaman pada objek penelitian adalah sekitar 84,03% dari standar produksi untuk kelas kesesuaian lahan S3. Proyeksi Harga TBS
Peneliti menetapkan harga rata-rata TBS pada tahun pertama proyeksi dengan menghitung rata-rata tahunan tertimbang sesuai volume produksi setiap tahun. Harga menurut umur tanaman adalah sebagai berikut: - umur 3 tahun: Rp 1.048,00 / kg
- umur 4 tahun: Rp 1.131,00 / kg
- umur 5 tahun: Rp 1.207,00 / kg
- umur 6 tahun: Rp 1.253,00 / kg
- umur 7 tahun: Rp 1.297,00 / kg
- umur 8 tahun: Rp 1.329,00 / kg
- umur 9 tahun: Rp 1.379,00 / kg
- umur 10 tahun: Rp 1.424,00 / kg
Peneliti memproyeksikan pertumbuhan harga dengan menggunakan Compounded Annual Growth Rate (CAGR) sebesar 4,13% per tahun hingga tahun ke-5.
- Proyeksi Biaya
Peneliti menghitung estimasi biaya operasional, pemeliharaan, dan berbagai pengeluaran lain yang diperlukan untuk memastikan kebun kelapa sawit tetap beroperasi selama periode proyeksi.Abstrak tidak merinci secara lengkap detail biaya, tetapi analisis Discounted Cash Flow (DCF) tetap mencakup komponen tersebut. - Penentuan Tingkat Diskonto (Discount Rate)
Penilai menggunakan Weighted Average Cost of Capital (WACC) sebesar 14,63% untuk mendiskontokan arus kas masa depan menjadi nilai sekarang.
Komponen-komponennya:
- Cost of Debt: 10,33%
- Penilai menghitung Cost of Equity sebesar 16,77% dengan menggunakan pendekatan Capital Asset Pricing Model (CAPM). Penilai menetapkan nilai ini dengan merujuk pada beta perusahaan sejenis per 31 Desember 2013.
- Debt-to-Equity Ratio: Market Debt Ratio 33,28%, dan Market Equity Ratio 66,72%.
Hasil Penelitian
- Nilai Pasar Properti
Dari hasil analisis DCF, estimasi nilai pasar properti perkebunan kelapa sawit PT MMS adalah sebesar Rp 810.328.000.000,00 (Rp 810,33 miliar). - Nilai per Hektar
Bila dibagi per luas lahan, nilai pasar per hektar perkebunan kelapa sawit tersebut adalah Rp 96.718.000,00/ha.
Metode DCF menawarkan pendekatan yang sistematis dan kuantitatif dalam menilai nilai pasar properti agribisnis, terutama pada perkebunan kelapa sawit. Studi kasus PT Mitra Mendawai Sejati menunjukkan bahwa pendekatan ini dapat menghasilkan estimasi nilai yang realistis, baik total maupun per hektar, yang sangat berguna bagi pemilik usaha, investor, dan pihak-pihak terkait lainnya. ***