Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan aturan Garis Sempadan Bangunan (GSB) untuk menjaga tata kota tetap rapi dan aman. Pergub 135 Tahun 2019 menjadi acuan utama yang wajib dipahami pemilik properti sebelum membangun atau menilai lahan.
Garis Sempadan Bangunan (GSB) adalah batas terluar bangunan gedung terhadap rencana jalan/rel, sungai, drainase, badan air, dan elemen prasarana lain yang ditetapkan pemerintah. Aturan ini diatur dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 135 Tahun 2019 tentang Pedoman Tata Bangunan, berikut lampiran teknisnya. Pergub ini menjadi rujukan praktis bagi pemilik properti, pengembang, hingga konsultan penilaian dan arsitek ketika merancang, menilai, atau mereview aset di wilayah DKI Jakarta.
Apa Itu GBS dan Mengapa Penting
Mengutip dari Pergub DKI Jakarta No. 135 Tahun 2019, JDIH BPK, GSB adalah garis batas terluar bangunan terhadap elemen kota seperti rencana jalan, rel kereta api, sungai, saluran drainase, maupun badan air lainnya. Pemerintah menetapkan aturan ini untuk melindungi fungsi prasarana, menjaga keselamatan, serta menciptakan wajah kota yang tertata.
Pemilik properti yang mematuhi GSB memperoleh manfaat signifikan. Mereka dapat mengurus perizinan dengan lebih mudah, menghindari risiko pelanggaran hukum, dan terbebas dari sanksi seperti denda atau pembongkaran. Selain itu, GSB mempermudah perawatan utilitas publik, seperti saluran air atau jaringan listrik bawah tanah, sehingga mendukung keberlanjutan infrastruktur kota. Dengan kata lain, mematuhi GSB bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga strategi cerdas untuk menjaga nilai investasi properti dalam jangka panjang.
Dalam praktik perencanaan, pelaku usaha sering mengintegrasikan GSB dengan Garis Sempadan Jalan (GSJ) dan Garis Sempadan Sungai (GSS). GSJ mengatur batas bangunan terhadap rencana jalan, sedangkan GSS menentukan zona penyangga sungai untuk perlindungan lingkungan. Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan (DCKTRP) DKI Jakarta menegaskan bahwa kedua garis ini menjadi acuan penting saat menentukan posisi massa bangunan.
Dasar Hukum GBS Terbaru
Untuk menentukan GSB pada lahan tertentu, harus merujuk pada Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) DKI Jakarta, kini diperbarui melalui Pergub Nomor 31 Tahun 2022 dan dapat diakses melalui portal Jakarta Satu.
RDTR menyediakan data rencana jaringan jalan, zonasi, dan intensitas penggunaan lahan yang saling berkaitan dengan penerapan GSB. Untuk memverifikasi kepatuhan, pelaku usaha dapat mengikuti dua langkah sederhana: pertama, memeriksa definisi dan ketentuan teknis dalam Pergub 135/2019; kedua, membandingkan data tersebut dengan peta RDTR terbaru.
Langkah Penerapan GSB di Lapangan
Konsultan penilaian dan tim perancang menerapkan GSB melalui langkah-langkah sistematis untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan. Pertama, mereka menarik garis batas berdasarkan rencana tepi jalan, rel kereta api, atau sungai sesuai data RDTR. Langkah ini menetapkan posisi awal GSB dengan akurat.
Kedua, mereka menghitung jarak GSB berdasarkan ketentuan teknis dalam Pergub 135/2019. Peraturan ini menetapkan jarak minimum antara bangunan dan batas lahan tertentu, seperti jalan atau sungai, untuk menjaga keselamatan, estetika, dan fungsi tata ruang.
Ketiga, tim memastikan tidak ada aturan khusus yang berlaku, misalnya pada jalan arteri besar atau di dekat saluran air primer. Aturan khusus ini dapat memengaruhi jarak GSB, sehingga tim harus memeriksanya dengan cermat untuk menghindari kesalahan perencanaan.
Keempat, tim menguji kepatuhan site plan, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), atau Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) terhadap ketentuan GSB. Proses ini membantu mengidentifikasi potensi risiko hukum dan memastikan desain bangunan sesuai regulasi.
Langkah-langkah ini sangat penting untuk mencegah pemilik properti terkena “setback penalty”, yaitu denda atau biaya tambahan akibat pelanggaran GSB. Dengan mematuhi prosedur ini, pembangunan berjalan sesuai regulasi, mengurangi risiko sengketa hukum, dan mendukung terciptanya tata ruang yang teratur dan berkelanjutan.
Ketentuan GSB berdasarkan lebar jalan:
- Jalan dengan lebar maksimal 12 meter: GSB minimal setengah dari lebar jalan, contohnya untuk jalan 10 meter, GSB = 5 meter.
- Jalan dengan lebar 12-26 meter: GSB = 8 meter.
- Jalan dengan lebar di atas 26 meter: GSB = 10 meter.
- Jalan dengan lebar kurang dari 4 meter untuk hunian: GSB = 0 (tidak dikenakan ketentuan GSB), jika jalan eksisting, atau GSB = 1.5 meter, jika merupakan rencana jalan.
Contoh Studi Kasus

Aturan GSB di Jakarta memainkan peran kunci dalam mengendalikan tata ruang perkotaan. Pergub 135/2019 menetapkan bahwa setiap bangunan harus mundur dari Garis Sempadan Jalan (GSJ) dengan jarak tertentu, tergantung lebar rencana jalan. Misalnya, pada jalan dengan lebar 12–26 meter, bangunan harus berada minimal 8 meter di belakang GSJ. Tujuan aturan ini adalah menciptakan keteraturan, menyediakan ruang terbuka di muka bangunan, dan memastikan akses untuk jalur pedestrian atau kebutuhan darurat.
Sebuah penelitian oleh Himawan, Akmal, dan Hantono (2022) dalam REGION: Jurnal Pembangunan Wilayah dan Perencanaan Partisipatif mengkaji kepatuhan terhadap aturan GSB di Jalan Boulevard, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Kawasan ini, sebagai koridor komersial yang berkembang pesat, memiliki ratusan ruko, restoran, dan kantor. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, menganalisis citra lapangan, dan membandingkannya dengan ketentuan jarak sempadan.
Hasil Penelitian
Penelitian mengamati 756 bangunan di Jalan Boulevard Kelapa Gading. Hasilnya menunjukkan bahwa 60,3% bangunan mematuhi aturan GSB, sedangkan 39,7% lainnya melanggar ketentuan. Meskipun mayoritas bangunan taat aturan, angka pelanggaran yang cukup tinggi tetap menjadi ancaman bagi tatanan kota.
Pelanggaran terbanyak terjadi pada bangunan kelas 6, yaitu bangunan perdagangan dan jasa seperti ruko, kafe, dan restoran. Di Segmen 4, misalnya, 73% dari 127 bangunan melanggar aturan, dengan mayoritas berasal dari kategori kelas 6. Temuan ini mengindikasikan bahwa pelaku usaha di kawasan komersial cenderung mengabaikan aturan GSB untuk memaksimalkan luas bangunan dan area usaha.
Pelanggaran GSB menimbulkan sejumlah dampak nyata. Pertama, bangunan yang melanggar menyempitkan ruang di tepi jalan, menyebabkan kemacetan lalu lintas karena sempadan yang seharusnya menjadi buffer digunakan sebagai bangunan permanen. Kedua, ruang terbuka publik di muka bangunan berkurang, sehingga menurunkan kualitas visual dan kenyamanan kawasan.
Ketiga, banyak pemilik usaha memanfaatkan area sempadan atau badan jalan sebagai lahan parkir, yang memperburuk lalu lintas dan mengurangi kapasitas jalan. Terakhir, pelanggaran ini menghilangkan jalur pedestrian, memaksa pejalan kaki berbagi ruang dengan kendaraan, yang meningkatkan risiko kecelakaan.
Rekomendasi dan Penegakan Aturan
Penelitian menegaskan perlunya penegakan hukum yang konsisten. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung mengatur sanksi administratif bagi pelanggar, mulai dari peringatan tertulis, penghentian pembangunan, pembekuan atau pencabutan izin, hingga pembongkaran bangunan.
Namun, implementasi sanksi ini sering terkendala oleh faktor sosial-ekonomi, terutama karena banyak bangunan di Kelapa Gading telah menjadi pusat ekonomi kawasan.
Peneliti merekomendasikan pendekatan kolaboratif antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat untuk mencari solusi tata ruang yang berkelanjutan. Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan dan sosialisasi untuk membangun kesadaran pemilik usaha tentang manfaat jangka panjang GSB, seperti terciptanya ruang kota yang lebih tertib, nyaman, dan aman.
Studi kasus di Jalan Boulevard Kelapa Gading menunjukkan bahwa aturan GSB belum sepenuhnya dipatuhi, dengan hampir 40% bangunan melanggar ketentuan, terutama di sektor komersial. Pemerintah perlu memperketat pengawasan dan penegakan hukum sambil mendorong kesadaran pelaku usaha. Dengan mematuhi GSB, Jakarta dapat mewujudkan tata ruang perkotaan yang lebih teratur, aman, dan mendukung keberlanjutan lingkungan serta investasi properti.***